Selasa, 13 Juni 2017

KEBEBASAN MENURUT JEAN PAUL SARTRE
  1. Pendahuluan
Berbicara mengenai kebebasan dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernahsampai kepada suatu pengertian yang pasti tentang apa itu kebebasan, karena terminologikebebasan memiliki cakupan yang sangat luas. Namun, apabila kebebasan difokuskan pada manusia, maka kebebasan merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkandari manusia, karena melalui kebebasan manusia berusaha mengaktualisasikan ataumerealisir dirinya sebagai individu yang bereksistensi. Tilikan kebebasan dicetuskan oleh Jean Paul Sartre dalam bukunya yang berjuduleksistensialisme humanisme. Sartre menggagas bahwa manusia adalah kebebasan.Konsep kebebasan yang mengalir dari Sartre tidak dapat dipahami lepas dari gagasannyamengenai cara berada manusia di dunia yang dia lukiskan secara radikal dalam dua bentuk, antara lain“etre-pour-soi (being-for-itself)danetre-en-soi (being-in-itself).Bagaimana Sartre menggagas “kebebasan” dengan bertolak dari cara berada manusiaakan kami uraikan berikut ini.
  1. Latar Belakang Pemikiran Jean Paul Sartre
Titik berangkat pemikiran Sartre diawali dari pandangannya tentang manusia.Menurut Sartre, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bereksistensi, artinya bahwa manusia itu bukanlah sesuatu yang konseptual melainkan sesuatu yang aktual.Dengan demikian, eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek. Olehkarena eksistensi bertolak dari manusia sebagai subjek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan objek-objek yang lain, karena eksistensi manusia tidak dihasilkan darisesuatu yang ditentukan melainkan suatu penyangkalan terhadap objek tertentu.
Pemahaman ini bertolak dari apa yang dicetuskan oleh Sartre bahwa eksistensimendahului esensi. Artinya, manusia itu berada dulu baru ada. Berada dulu baru adahendak mengatakan suatu pengertian bahwa manusia pada awalnya adalah kosong.
Dengan kata lain, kebebasanmanusia untuk memilih menjadikan kekosongannya bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai satu-satunya individu yang bebas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia itu “ada” sejauh ia bertindak terhadap sesuatu bagi dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan untuk dirinya sendiri adalah lahir darikebebasan dan kesadarannya sebagai individu yang menyadari sesuatu yang berarti bagidirinya.Eksistensialisme humanisme Sartre lahir sebagai gugatan terhadap aliran filsafatyang menganut paham idealisme dan materialisme. Filsafat idealisme yang berpuncak  pada Hegel mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari sekadar “roh” yang sedang berkembang dan bergerak menuju kesempurnaan diri. Manusia dalam pandangan Hegel bukanlah individu yang memiliki otonomi dan bereksistensi melainkan hanyalah suatu proses penyempurnaan diri dari Roh untuk menjadi absolut. Oleh karena itu, menurutHegel, manusia tidak mencerminkan suatu kehidupan yang konkrit karena makna dankedudukannya terserap dalam kesadaran Roh Absolut. Berangkat dari gagasan di atas, Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapatdireduksir ke dalam realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan bereksistensi.
a)          Konsep Kesadaran dalam Eksistensialisme Humanisme Jean Paul Sartre
Tesis kesadaran merupakan salah satu aspek yang mendasari filsafat eksistensialisme humanisme Sartre. Tesis ini dipengaruhi oleh fenomenologi sebagaisalah satu aliran filsafat yang menggeser fokus kesadaran dari objek-objek ke kesadarantentang objek-objek. Menurut fenomenologi kesadaran bukanlah semata-mata kesadaran,tetapi selalu merupakan kesadaran tentang sesuatu, yaitu kesadaran tentang sesuatu yang berada di luar dirinya. Artinya, kesadaran itu perama-tama bertolak dari dirinya sendirimenuju kepada objek-objek dan bukan sebaliknya dari objek menuju ke kesadaran.Namun, Sartre berseberangan dengan fenomenologi Husserl berkaitan denganego dan kesadaran. Husserl yang dipengaruhi oleh Kant berdalil bahwa kesadaran bersumber dari ego transendental karena apa yang disebut ego tidak ditemukan dalam pengalaman melainkan ego menjadi syarat bagi pengalaman itu sendiri. Dalam hal ini Sartre berbeda pendapat dengan Husserl dengan mengatakan bahwa kesadaran itu tidak samadengan benda-benda karena benda-benda itu adalah kekosongan. Dalam hal ini, egodalam konsep Sartre tidak menjadi syarat mutlak bagi kesadaran, karena ego merupakan bagian dari dunia objek sedangkan kesadaran adalah kekosongan.
Kalau dalam Husserl kesadaran dipahami sebagai kesadaran dari objek ke kesadaran, sebaliknya Sartre memahamikesadaran sebagai subjektif karena kesadaran itu ada dalam diri individu yang mengarahkan kesadarannya kepada objek dan bukan objek yang mengarahkan kesadarannya kepada individu.Selain tidak sejalan dengan Husserl, Sartre juga mengkritik Descartes yangmenyamakan kesadaran sebagai substansi(cogitans).Menurut Sartre, kesadaran tidak dapat dikatakan sebagai substansi sebagaimana dicetuskan oleh Descartes, karenakesadaran itu merupakan sesuatu yang kosong tanpa muatan. Kesadaran merupakan suatuaspek yang tidak dapat direfleksikan sebagai objek kendatipun kesadaran meyadaridirinya sejauh ia menyadari objek di luar dirinya. Dengan demikian, kesadaran itumemiliki dua karakter yang saling berelasi, yaitu kesadaran diri dan kesadaran intensional.
üEtre-en-soi (being-in-itself)
Dalam karya monumentalnya tentangL’être et le nêat (Being and Nothingness),Sartre mencetuskan dua cara berada di dunia, yaituetre-en-soi (being-in-itself)danetre- pour-soi (being-for-itself).Menurut Sartre,etre-en-soiyang berarti ada-pada-dirinyasama sekali identik dengan dirinya,karenaetre-en-soiitu tidak aktif dantidak negatif.Etre-en-soiitu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyaikemungkinan ataupun tujuan.Etre-en-soimerupakan suatu tipe eksistensi benda-bendayang tidak berkesadaran danpadat, artinya kesadaran yangmenjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiriMaka,etre-en-soitidak pernah ada dan tidak pernah dapatmenempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yangmenopang.
ü  Etre-pour-soi (being-for-itself)
Lawan darietre-en-soimenurut Sartre adalahetre-pour-soi (being-for-itself)yang berarti ada-bagi-dirinya. Ada-bagi-dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusiamemiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengandirinya sendiri.Sehingga kesadaran manusia muncul seiringdengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadariitu bukanlah dirinya. Ketidakidentikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwakesadaran itu negativitas, yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwaetre-pour-soiitu memiliki ciri“it is not what it is.”Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinyamemiliki aspek kesadaran yang menidak.
Jadi menurut saya bahwa etre-pour-soimerupakan eksistensiyang berkesadaran atau sesuatu yang bukan dirinya dan sekaligus apa yang dirinya bukan(being what is not and not being what it is).Artinya bahwa kesadaran tidak pernahidentik dengan dirinya sendiri, bahkan kesadaran itu tidak mempunyai identitas karenatidak bisa dekat dengan dirinya.Pemisahan inilah yang disebut sebagai ketiadaan(nothingness),di mana manusia dipisahkan dari esensinya yang kemudian membuat kesadaran itu tidak pernah padat,artinya selalu merupakan kekurangan dari keberadaannya.
b)    Memperjuangkan “Kebebasan” Sebagai Corak Humanisme Jean Paul Sartre
Sartre mendeklarasikan kebebasan sebagai corak humanismenya. Kebebasan yangdimaksudkan oleh Sartre adalah manusia itu sendiri. Ia menggagas kebebasan untuk menegaskan idealismenya bahwa manusia adalah makhluk di mana eksistensimendahului esensi, artinya manusia itu berada dulu baru ada. Konsep ini mengandaikan bahwa manusia itu pada awalnya adalah kosong dan tidak memiliki apa-apa. Tetapi,kekosongan itu kemudian diisi oleh karena kebebasannya untuk memilih. Kebebasan yang digaungkan oleh Sartre mau menegaskan bahwa hanyamanusialah yang memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi dirinya sebagai makhluk yang berada. Di sinilah terletak bentuk ateisme Sartre yang menolak kodrat dan adanyaTuhan, sebab menurut Sartre seandainya Tuhan ada, maka saya menjadi obyek dengankodrat tertentu. Dengan kata lain, kalau Tuhan ada, maka kebebasan itu dicabut darieksistensi saya. Akibatnya, saya ini bukan lagi individu yang bebas yang dapatmenentukan apa yang terbaik bagi diri saya sendiri melainkan eksistensi saya ini sudahditentukan. Sebaliknya, dengan mengatakan bahwa Allah tidak ada berarti saya adalahindividu yang bebas atas diriku sendiri. Jadi menurut saya bahwa Kebebasan yang digagas oleh Sartre memiliki konsekuensi bahwa manusiamenjadi raja atau tuan atas dirinya sendiri. Menjadi raja atau tuan atas dirinya sendiri berarti bahwa manusia berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Kebebasanmengindikasikan adanya tanggungjawab. Artinya, hanya akulah yang bertanggungjawab penuh atas diriku, tindakan-tindakanku dan segala keputusan yang aku ambil atas dirikudan bukan pihak lain.
  1. Tinjauan Kritis atas Konsep Kebebasan dalam Eksistensialisme HumanismeJean Paul Sartre
Kebebasan merupakan kata kunci dalam filsafat eksistensialisme humanismeSartre. Bagi Sartre, kebebasan itu mutlak dan otonom bagi manusia karena manusia tidak memiliki esensi atau kodrat. Jika manusia itu telah memiliki esensi atau kodrat maka dia bukan lagi manusia bebas melainkan manusia yang hidup dalam aturan-aturan ataunorma-norma yang sudah ditentukan. Terhadap kebebasan yang digaungkan oleh Sartre, saya melihat bahwa gagasanini memiliki konsekuensi baik dari segi positif maupun dari segi negatif. Dari segi positif dapat dikatakan bahwa Sartre mengemas sebuah filsafat yang tidak menempatkanmanusia ke dalam realitas materi dan roh sebagaimana dipahami oleh para filsuf idealisme dan materialisme. Sebaliknya, dengan menggaungkan kebebasan, Sartremembuka kesadaran kita bahwa melaluikebebasannya manusia dapatmengaktualisasikan dirinya dalam kesadarannya sebagai indviidu yang bereksistensi.Selain itu, melalui kebebasan manusia dituntut untuk bertanggungjawab penuh atasdirinya sendiri, atas pilihan bebasnya dan atas tindakan-tindakannya. Dengan kata lain,melalui kebebasanku aku tidak hanya bertanggungjawab atas diriku sendiri, tetapi jugaaku bertanggungjawab atas semua orang. Dengan demikian, melalui kebebasankumengaktualisasikan diriku aku sadar bahwa aku benar-benar ada.
  1. Kesimpulan
Jadi menurut pandangan saya Setelah membahas bagaimana Sartre menggagas kebebasan, kami melihat bahwadi satu pihak gagasan Sartre mengenai kebebasan masih memiliki relevansi pada jamansekarang tetapi di lain pihak gagasan ini memiliki konsekuensi yang dapatmenghancurkan manusia itu sendiri. Dengan kata lain konsep kebebasan Sarterian tidak relevan. Saya katakan bahwa konsep kebebasan Sarterian memiliki relevansi dalam arti bahwa bagaimanapun kebebasan manusia untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinyaharus diakui dan dihargai. Salah satu contoh misalnya adalah kebebasan untuk memilih partai tertentu atau kebebasan untuk beragama. Dalam hal ini manusia mempunyaikebebasan mutlak dan otonom. Namun, sebaliknya kebebasan Sarterian ini menjadi tidak relevan ketika manusia mengabaikan norma-norma moral yang berlaku. Di sinilah Sartretidak konsekuen dengan apa yang di kemukakan. Oleh karena itu, menurut saya,kebebasan manusia tetap diakui dan dihargai karena hanya dengan jalan demikianmanusia sesungguhnya merealisir atau mengaktualisasikan dirinya tetapi dengankebebasan itu juga manusia tidak boleh mengabaikan prinsip dan norma-norma moralsebab manusia tidak lepas dari sebuah komunitas yang memiliki hukum dan norma.

Senin, 29 Mei 2017

Peradaban Manusia Menurut Auguste Comte



Isidore Auguste Marie François Xavier Comte, lebih dikenal sebagai Auguste Comte (1798 – 1857), adalah seorang filsuf Prancis yang memulai ilmu sosiologi melalui pemikirannya. Pemikiran Comte menghasilkan teori Positivisme yang menggunakan metode ilmiah dan diaplikasikan dalam ilmu sosial, sehingga ia tidak membicarakan tentang asal-usul manusia; namun ia mengajukan teori mengenai perkembangan manusia.

Menurut Comte, di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus dan jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan antara manusia dengan binatang, yaitu perkembangan intelektual (akal budi).
Sejarah umat manusia ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia. Tahap-tahap perkembangan (berpikir) manusia dibagi menjadi tiga, yaitu: tahap Teologis, tahap Metafisis, dan tahap Positif.
1. Tahap Teologis
Merupakan tahap paling awal dalam perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berpikir bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap ini dijumpai pada manusia purba, di mana alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Keseluruhan alam semesta ini dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri.
Ada beberapa cara berpikir dalam tahap ini:
a. Fetiyisme dan Animisme
Manusia purba tidak mengenal konsep abstrak; benda-benda tidak dimengerti dalam bentuk konsep umum, tetapi sebagai sesuatu yang individual. Manusia mempercayai adanya kekuatan magis di benda-benda tertentu,  yang mempunyai jiwa dan rohnya sendiri.
b. Politeisme
Adalah pemikiran yang lebih maju, yang sudah mulai mengelompokkan semua benda dan kejadian ke dalam konsep yang lebi umum berdasarkan kesamaan di antara mereka. Dalam tahap ini manusia tidak lagi berpikir tiap-tiap benda yang mempunyai roh, tapi tiap jenis atau kelas benda. Misalnya dalam cara berpikir animisme diyakini bahwa tiap sawah dan ladang dihuni oleh roh-roh leluhur penduduk desa, maka dalam cara berpikir politeisme diyakini bahwa Dewi Sri yang menghuni dan memelihara semua sawah dan ladang di desa manapun.
c. Monoteisme
Tahap tertinggi di mana manusia menyatukan roh (dewa) dari benda-benda, dan hanya mengakui satu Roh yang mengatur dan menguasai bumi dan langit. Semua benda dan kejadian, termasuk manusia, berasal dan berakhir dari kekuatan Roh itu, yaitu Tuhan.
Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang membawa pengaruh yang besar pada kehidupan manusia, karena dijadikan suatu pedoman hidup masyarakat dan landasan institusional dan alat jastifikasi suatu negara.
2. Tahap Metafisik
Pada prinsipinya hanya merupakan pengembangan dari tahap teologis. Perbedaan kedua cara berpikir tersebut adalah pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan bukti-bukti logis yang meyakinkannya tentang sesuatu dengan konsep-konsep abstrak dan metafisik. Manusia seringkali percaya bahwa Tuhan adalah makhluk abstrak, dan bahwa kekuatan atau kekuasaan abstrak itu menunjukkan dan menentukan setiap kejadian di dunia.
3. Tahap Positifistik
Disebut juga tahap ilmu pengetahuan, karena dalam tahap ini manusia sudah mampu berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, percobaan, dan perbandingan yang terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum yang ditemukan dengan cara demikian bersifat praktis dan bermanfaat, karena dengan mengetahui dan menguasai hukum-hukum tersebut kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala atau kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih baik. Menurut Comte, positivisme adalah cara intelektual memandang dunia yang merupakan perilaku tertinggi dan paling berkembang dalam kehidupan manusia.
Bagaimanapun Comte sadar bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus sekalipun tidak merupakan jalan lurus. Tiga tahap berpikir tersebut mungkin hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama walau mungkin tidak selalu berurutan. Misalnya, ketika seorang masih berpikir secara metafisik atau teologis, berarti ia masih berpikiran primitif walaupun hidup di zaman modern. Perkembangan intelektual (berpikir) berlaku bagi manusia, baik sebagai kelompok masyarakat, maupun sebagai indvidu.

Daftar Pustaka
http://psychorevolution.blogspot.co.id/2011/02/positivisme-august-comte.html

Kamis, 20 April 2017

Arthur Schopenhauer


Merupakan salah satu filsuf modern baru, yang lahir di Danzig, yang sekaran ini menjadi polandia 1788. beliau merupakan anak dari pedagang. Ayahnya meninggal waktu beliau masih kecil, dipastikan ayahnya meninggal karena bunuh diri. Karena  memisahkan diri dari ibunya.Beliau lebih memilih menjadi filsuf, mendalami fisika, kimia, astronomi dan biologi. Dibanding dengan menjadi seorang pedagang. Pada tahun 1822 beliau mengajar di Universitas Berlin.

Ciri khas dari Arthur Schopenhauer ialah kesombongannya, selain pesimisinnya. Terdapat fakta, bahwa beliau menantang Hegel, yang sejak itu menjadi profersor terhebat di Universitas Berlin. Hal ini membuat iya mendapat penolakan, dari berbagai pihak yang ada di Universitas itu. Terutama Mahasiswanya sendiri, tidak ada yang datang pada jam kuliah yang diajarkan beliau.Setelah itu, beliau memutuskan untuk tinggal di Frankurt sebagai penulis. keadaan beliau terjamin sejak itu, karena berkat peninggalan harta warisan ayahnya. Dan memutuskan untuk tidak menikah untuk selamanya.

Ibu schopenhauer merupakan wanita terpelajar. Tetapi sangat disayangkan karena beliau sangat menyanyangi anaknya dengan sepenuhnya. Terlihat pada saat dia salah, beliau menghukumnya. Dan beliau menanamkan rasa duka yang hampa (sedih berkepanjangan). Beliau meninggal pada tahun 1860.

Pemikiran filosofis beliau sangat di pengaruhi Immanuel Kant dan pandangan Budha.pandangan filosofisnya yaitu tentang " Kehendak metafisik dan Pesimisme. Yang dikenal Das Ding an Sich yang beliau sebut "kehendak". Selanjutnya, tentang Pesimisme, Beliau menyatakan bahwa kenyataan itu seluruhnya jahat. Karena kehidupan itu lebih mementingkan dirinya sendiri dan hina. Oleh karena itu, untuk menjadi baik harus ada tindakan simpati.

Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa beliau memberikan sebuah doktrin kentang kehendak. Karena tidak adanya unsur logis dengan pesimisme. Terpenting ialah beliau berhasil mengembangkan akar-akar pemikiran dari filsuf. Dan memberikan pandangan baru kepada filsuf.



DAFTAR PUSTAKA :

http://gigihprakarsa.blogspot.co.id/



KEBEBASAN MENURUT JEAN PAUL SARTRE Pendahuluan Berbicara mengenai kebebasan dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernahsampai kepada su...